PERMASALAHAN
PENDIDIKAN MASA KINI
(Education issues of today)
Betapapun
terdapat banyak kritik yang dilancarkan oleh berbagai kalangan terhadap
pendidikan, atau tepatnya terhadap praktek pendidikan, namun hampir semua pihak
sepakat bahwa nasib suatu komunitas atau suatu bangsa di masa depan sangat
bergantung pada kontribusinya pendidikan. Shane (1984: 39), misalnya sangat
yakin bahwa pendidikanlah yang dapat memberikan kontribusi pada kebudayaan di
hari esok. Pendapat yang sama juga bisa kita baca dalam penjelasan Umum Undang-Undang
Republik Indonesia Nomer 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional (UU
No. 20/2003), yang antara lain menyatakan: “Manusia membutuhkan pendidikan
dalam kehidupannya. Pendidikan merupakan usaha agar manusia dapat mengembangkan
potensi dirinya melalui proses pembelajaran dan atau cara lain yang dikenal dan
diakui oleh masyarakat”.
Dengan
demikian, sebagai institusi, pendidikan pada prinsipnya memikul amanah “etika
masa depan”. Etika masa depan timbul dan dibentuk oleh kesadaran bahwa setiap
anak manusia akan menjalani sisa hidupnya di masa depan bersama-sama dengan
makhluk hidup lainnya yang ada di bumi. Hal ini berarti bahwa, di satu pihak,
etika masa depan menuntut manusia untuk tidak mengelakkan tanggung jawab atas
konsekuensi dari setiap perbautan yang dilakukannya sekarang ini. Sementara itu
pihak lain, manusia dituntut untuk mampu mengantisipasi, merumuskan
nilai-nilai, dan menetapkan prioritas-prioritas dalam suasana yang tidak pasti
agar generasi-generasi mendatang tidak menjadi mangsa dari proses yang semakin
tidak terkendali di zaman mereka dikemudian hari (Joesoef, 2001: 198-199).
Dalam
konteks etika masa depan tersebut, karenanya visi pendidikan seharusnya lahir
dari kesadaran bahwa kita sebaiknya jangan menanti apapun dari masa depan,
karena sesungguhnya masa depan itulah mengaharap-harapkan dari kita, kita
sendirilah yang seharusnya menyiapkannya (Joesoef, 2001: 198). Visi ini tentu
saja mensyaratkan bahwa, sebagai institusi, pendidikan harus solid. Idealnya,
pendidikan yang solid adalah pendidikan yang steril dari berbagai permasalahan.
Namun hal ini adalah suatu kemustahilan. Suka atau tidak suka, permasalahan
akan selalu ada dimanapun dan kapanpun, termasuk dalam institusi pendidikan.
Oleh
karena itu, persoalannya bukanlah usaha menghindari permasalahah, tetapi justru
perlunya menghadapi permasalahan itu secara cerdas dengan mengidentifikasi dan
memahami substansinya untuk kemudian dicari solusinya.
Makalah
ini berusaha mengidentifikasi dan memahami permasalahan-permasalahan pendidikan
kontemporer di Indonesia. Permasalahan-permasalahan pendidikan dimaksud
dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu permasalahan eksternal dan
permasalahan internal. Perlu pula dikemukakan bahwa permasalah pendidikan yang
diuraikan dalam makalah ini terbatas pada permasalahan pendidikan formal.
Permasalahan Eksternal
Pendidikan Masa Kini
Permasalahan
eksternal pendidikan di Indonesia dewasa ini sesungguhnya sangat komplek. Hal
ini dikarenakan oleh kenyataan kompleksnya dimensi-dimensei eksternal pendidikan
itu sendiri. Dimensi-dimensi eksternal pendidikan meliputi dimensi sosial,
politik, ekonomi, budaya, dan bahkan juga dimensi global.
Dari
berbagai permasalahan pada dimensi eksternal pendidikan di Indonesia dewasa
ini, makalah ini hanya akan menyoroti dua permasalahan, yaitu permasalahan
globalisasi dan permasalahan perubahan sosial.
Permasalahan
globalisasi menjadi penting untuk disoroti, karena ia merupakan trend abad
ke-21 yang sangat kuat pengaruhnya pada segenap sector kehidupan, termasuk pada
sektor pendidikan. Sedangakan permasalah perubahan social adalah masalah
“klasik” bagi pendidikan, dalam arti ia selalu hadir sebagai permasalahan
eksternal pendidikan, dan karenya perlu dicermati. Kedua permasalahan tersebut
merupakan tantangan yang harus dijawab oleh dunia pendidikan, jika pendidikan
ingin berhasil mengemban misi (amanah) dan fungsinya berdasarkan paradigma
etika masa depan.
Permasalahan Globalisasi
Globalisasi
mengandung arti terintegrasinya kehidupan nasional ke dalam kehidupan global.
Dalam bidang ekonomi, misalnya, globalisasi ekonomi berarti terintegrasinya
ekonomi nasional ke dalam ekonomi dunia atau global (Fakih, 2003: 182). Bila
dikaitkan dalam bidang pendidikan, globalisasi pendidikan berarti
terintegrasinya pendidikan nasional ke dalam pendidikan dunia. Sebegitu jauh,
globalisasi memang belum merupakan kecenderungan umum dalam bidang pendidikan.
Namun gejala kearah itu sudah mulai Nampak.
Sejumlah
SMK dan SMA di beberapa kota di Indonesia sudah menerapkan sistem Manajemen
Mutu (Quality Management Sistem) yang berlaku secara internasional dalam
pengelolaan manajemen sekolah mereka, yaitu SMM ISO 9001:2000; dan banyak
diantaranya yang sudah menerima sertifikat ISO.
Oleh
karena itu, dewasa ini globalisasi sudah mulai menjadi permasalahan actual
pendidikan. Permasalahan globalisasi dalam bidang pendidikan terutama
menyangkut output pendidikan. Seperti diketahui, di era globalisasi dewasa ini
telah terjadi pergeseran paradigma tentang keunggulan suatu Negara, dari
keunggulan komparatif (Comperative adventage) kepada keunggulan kompetitif
(competitive advantage). Keunggulam komparatif bertumpu pada kekayaan sumber
daya alam, sementara keunggulan kompetitif bertumpu pada pemilikan sumber daya
manusia (SDM) yang berkualitas (Kuntowijoyo, 2001: 122).
Dalam
konteks pergeseran paradigma keunggulan tersebut, pendidikan nasional akan
menghadapi situasi kompetitif yang sangat tinggi, karena harus berhadapan
dengan kekuatan pendidikan global. Hal ini berkaitan erat dengan kenyataan
bahwa globalisasi justru melahirkan semangat cosmopolitantisme dimana anak-anak
bangsa boleh jadi akan memilih sekolah-sekolah di luar negeri sebagai tempat
pendidikan mereka, terutama jika kondisi sekolah-sekolah di dalam negeri secara
kompetitif under-quality (berkualitas rendah). Kecenderungan ini sudah mulai
terlihat pada tingkat perguruan tinggi dan bukan mustahil akan merambah pada
tingkat sekolah menengah.
Bila
persoalannya hanya sebatas tantangan kompetitif, maka masalahnya tidak menjadi
sangat krusial (gawat). Tetapi salah satu ciri globalisasi ialah adanya
“regulasi-regulasi”. Dalam bidang pendidikan hal itu tampak pada
batasan-batasan atau ketentuan-ketentuan tentang sekolah berstandar
internasional. Pada jajaran SMK regulasi sekolah berstandar internasional tersebut
sudah lama disosialisasikan. Bila regulasi berstandar internasional ini
kemudian ditetapkan sebagai prasyarat bagi output pendidikan untuk memperolah
untuk memperoleh akses ke bursa tenaga kerja global, maka hal ini pasti akan
menjadi permasalah serius bagi pendidikan nasional.
Globalisasi
memang membuka peluang bagi pendidikan nasional, tetapi pada waktu yang sama ia
juga mengahadirkan tantangan dan permasalahan pada pendidikan nasional. Karena
pendidikan pada prinsipnya mengemban etika masa depan, maka dunia pendidikan
harus mau menerima dan menghadapi dinamika globalisasi sebagai bagian dari
permasalahan pendidikan masa kini.
Permasalahan perubahan sosial
Ada sebuah
adegium yang menyatakan bahwa di dunia ini tidak ada yang abadi, semuanya
berubah; satu-satunya yang abadi adalah perubahan itu sendiri. Itu artinya,
perubahan sosial merupakan peristiwa yang tidak bisa dielakkan, meskipun ada
perubahan sosial yang berjalan lambat dan ada pula yang berjalan cepat.
Bahkan
salah satu fungsi pendidikan, sebagaimana dikemukakan di atas, adalah melakukan
inovasi-inovasi sosial, yang maksudnya tidak lain adalah mendorong perubahan
sosial. Fungsi pendidikan sebagai agen perubahan sosial tersebut, dewasa ini
ternyata justru melahirkan paradoks.
Kenyataan
menunjukkan bahwa, sebagai konsekuansi dari perkembangan ilmu perkembangan dan
teknologi yang demikian pesat dewasa ini, perubahan sosial berjalan jauh lebih
cepat dibandingkan upaya pembaruan dan laju perubahan pendidikan. Sebagai
akibatnya, fungsi pendidikan sebagai konservasi budaya menjadi lebih menonjol,
tetapi tidak mampu mengantisipasi perubahan sosial secara akurat (Karim, 1991:
28). Dalam kaitan dengan paradoks dalam hubungan timbal balik antar pendidikan
dan perubahan sosial seperti dikemukakan di atas, patut kiranya dicatat
peringatan Sudjatmoko (1991:30) yang menyatakan bahwa Negara-negara yang tidak
mampu mengikuti revolusi industri mutakhir akan ketinggalan dan
berangsur-angsur kehilangan kemampuan untuk mempertahankan kedudukannya sebagai
Negara merdeka. Dengan kata lain, ketidakmampuan mengelola dan mengikuti
dinamika perubahan sosial sama artinya dengan menyiapkan keterbelakangan.
Permasalahan perubahan sosial, dengan demikian harus menjadi agenda penting
dalam pemikiran dan praksis pendidikan nasional.
Permasalahan Internal
Pendidikan Masa Kini
Seperti
halnya permasalahan eksternal, permasalahan internal pendidikan di Indonesia
masa kini adalah sangat kompleks. Daoed Joefoef (2001: 210-225) misalnya,
mencatat permasalahan internal pendidikan meliputi permasalahan-permasalahan
yang berhubungan dengan strategi pembelajaran, peran guru, dan kurikulum.
Selain ketiga permasalahan tersebut sebenarnya masih ada jumlah permasalahan
lain, seperti permasalahan yang berhubungan dengan sistem kelembagaan, sarana
dan prasarana, manajemen, anggaran operasional, dan peserta didik. Dari
berbagai permasalahan internal pendidikan dimaksud, makalah ini hanya akan
membahas tiga permasalahan internal yang di pandang cukup menonjol, yaitu
permasalahan sistem kelembagaan, profesionalisme guru, dan strategi
pembelajaran.
Permasalahan sistem kelembagaan
pendidikan
Permasalahan
sistem kelembagaan pendidikan yang dimaksud dengan uraian ini ialah mengenai
adanya dualisme atau bahkan dikotomi antar pendidikan umum dan pendidikan
agama. Dualisme atau dikotomi antara pendidikan umum dan pendidikan agama ini
agaknya merupakan warisan dari pemikiran Islam klasik yang memilah antara ilmu
umum dan ilmu agama atau ilmu ghairuh syariah dan ilmu syariah, seperti yang
terlihat dalam konsepsi al-Ghazali (Otman, 1981: 182).
Dualisme
dikotomi sistem kelembagaan pendidikan yang berlaku di negeri ini kita anggap
sebagai permasalahan serius, bukan saja karena hal itu belum bisa ditemukan
solusinya hingga sekarang, melainkan juga karena ia, menurut Ahmad Syafii
Maarif (1987:3) hanya mampu melahirkan sosok manusia yang “pincang”. Jenis
pendidikan yang pertama melahirkan sosok manusia yang berpandangan sekuler,
yang melihat agama hanya sebagai urusan pribadi.
Sedangkan
sistem pendidikan yang kedua melahirkan sosok manusia yang taat, tetapi miskim
wawasan. Dengan kata lain, adanya dualisme dikotomi sistem kelembagaan
pendidikan tersebut merupakan kendala untuk dapat melahirkan sosok manusia
Indonesia “seutuhnya”. Oleh karena itu, Ahmad Syafii Maarif (1996: 10-12)
menyarankan perlunya modal pendidikan yang integrative, suatu gagasan yang
berada di luar ruang lingkup pembahasan makalah ini.
Permasalahan Profesionalisme
Guru
Salah satu
komponen penting dalam kegiatan pendidikan dan proses pembelajaran adalah pendidik
atau guru. Betapapun kemajuan taknologi telah menyediakan berbagai ragam alat
bantu untuk meningkatkan efektifitas proses pembelajaran, namun posisi guru
tidak sepenuhnya dapat tergantikan. Itu artinya guru merupakan variable penting
bagi keberhasilan pendidikan.
Menurut
Suyanto (2006: 1), “guru memiliki peluang yang amat besar untuk mengubah
kondisi seorang anak dari gelap gulita aksara menjadi seorang yang pintar dan
lancar baca tulis alfabetikal maupun fungsional yang kemudian akhirnya ia bisa
menjadi tokoh kebanggaan komunitas dan bangsanya”. Tetapi segera ditambahkan:
“guru yang demikian tentu bukan guru sembarang guru. Ia pasti memiliki
profesionalisme yang tinggi, sehingga bisa “digugu lan ditiru”.
Lebih jauh
Suyanto (2006: 28) menjelaskan bahwa guru yang profesional harus memiliki
kualifikasi dan ciri-ciri tertentu. Kualifikasi dan ciri-ciri dimaksud adalah:
(a) harus memiliki landasan pengetahuan yang kuat, (b) harus berdasarkan atas
kompetensi individual, (c) memiliki sistem seleksi dan sertifikasi, (d) ada
kerja sama dan kompetisi yang sehat antar sejawat, (e) adanya kesadaran
profesional yang tinggi, (f) meliki prinsip-prinsip etik (kide etik), (g)
memiliki sistem seleksi profesi, (h) adanya militansi individual, dan (i)
memiliki organisasi profesi.
Dari
ciri-ciri atau karakteristik profesionalisme yang dikemukakan di atas jelaslah
bahwa guru tidak bisa datang dari mana saja tanpa melalui sistem pendidikan
profesi dan seleksi yang baik. Itu artinya pekerjaan guru tidak bisa dijadikan
sekedar sebagai usaha sambilan, atau pekerjaan sebagai moon-lighter.
Namun kenyataan dilapangan menunjukkan adanya guru terlebih terlebih guru
honorer, yang tidak berasal dari pendidikan guru, dan mereka memasuki pekerjaan
sebagai guru tanpa melalui system seleksi profesi. Singkatnya di dunia
pendidikan nasional ada banyak, untuk tidak mengatakan sangat banyak, guru yang
tidak profesioanal. Inilah salah satu permasalahan internal yang harus menjadi
“pekerjaan rumah” bagi pendidikan nasional masa kini.
Permasalahan Strategi
Pembelajaran
Menurut
Suyanto (2006: 15-16) era globalisasi dewasa ini mempunyai pengaruh yang sangat
signifikan terhadap pola pembelajaran yang mampu memberdayakan para peserta
didik. Tuntutan global telah mengubah paradigma pembelajaran dari paradigma
pembelajaran tradisional ke paradigma pembelajaran baru. Suyanto menggambarkan
paradigma pembelajaran sebagai berpusat pada guru, menggunakan media tunggal,
berlangsung secara terisolasi, interaksi guru-murid berupa pemberian informasi
dan pengajaran berbasis factual atau pengetahuan.
Paulo Freire (2002: 51-52) menyebut strategi pembelajaran tradisional ini sebagai strategi pelajaran dalam “gaya bank” (banking concept). Di pihak lain strategi pembelajaran baru digambarkan oleh Suyanto sebagai berikut: berpusat pada murid, menggunakan banyak media, berlangsung dalam bentuk kerja sama atau secara kolaboratif, interaksi guru-murid berupa pertukaran informasi dan menekankan pada pemikiran kritis serta pembuatan keputusan yang didukung dengan informasi yang kaya. Model pembelajaran baru ini disebut oleh Paulo Freire (2000: 61) sebagai strategi pembelajaran “hadap masalah” (problem posing).
Paulo Freire (2002: 51-52) menyebut strategi pembelajaran tradisional ini sebagai strategi pelajaran dalam “gaya bank” (banking concept). Di pihak lain strategi pembelajaran baru digambarkan oleh Suyanto sebagai berikut: berpusat pada murid, menggunakan banyak media, berlangsung dalam bentuk kerja sama atau secara kolaboratif, interaksi guru-murid berupa pertukaran informasi dan menekankan pada pemikiran kritis serta pembuatan keputusan yang didukung dengan informasi yang kaya. Model pembelajaran baru ini disebut oleh Paulo Freire (2000: 61) sebagai strategi pembelajaran “hadap masalah” (problem posing).
Meskipun
dalam aspirasinya, sebagaimana dikemukakan di atas, dewasa ini terdapat
tuntutan pergeseran paradigma pembelajaran dari model tradisional ke arah model
baru, namun kenyataannya menunjukkan praktek pembelajaran lebih banyak
menerapkan strategi pembelajaran tradisional dari pembelajaran baru (Idrus,
1997: 79). Hal ini agaknya berkaitan erat dengan rendahnya professionalisme
guru.
Kesimpulan dan Saran
Permasalahan
pendidikan di Indonesia masa kini sesungguhnya sangat kompleks. Makalah ini
dengan segala keterbatasannya, hanya sempat menyoroti beberapa diantaranya yang
dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu permasalahan eksternal dan internal.
Dalam permasalahan eksternal di bahas masalah globalisasi dan masalah perubahan
social sebagai lingkungan pendidikan.
Sedangkan
menyangkut permasalahan internal disoroti masalah system kelemahan (dialisme
dikotomi), profesionalisme guru, dan strategi pembelajaran. Dari pemahaman
terhadap sejumlah permasalahan dimaksud di atas dapat disimpulkan bahwa
berbagai permasalahan pendidikan yang komplek itu, baik eksternal maupun
internal adalah saling terkait.
Hal ini
tentu saja menyarankan bahwa pemecahan terhadap permasalahan-permasalahan
pendidikan tidak bisa dilakukan secara parsial; yang merupakan pendekatan
terpadu. Bagaimanapun, permasalahan-permasalahan di atas yang belum merupakan
daftar lengkap, harus kita hadapi dengan penuh tanggung jawab. Sebab, jika kita
gagal menemukan solusinya maka kita tidak bisa berharap pendidikan nasional
akan mampu bersaing secara terhormat di era globalisasi dewasa ini.
Sebagai
insan yang berpendidikan, kita tentu masih terus berharap akan datangnya perubahan
fundamental terhadap sistem pendidikan kita. rasa optimis menatap masa depan
wajib terbersit di lubuk hati kita semua, meskipun banyak sekali problem yang
belum terentaskan. Rasa optimis menjadi “kata kunci” (key word) bagi
semua idealisme perubahan itu. Seperti Paulo freire yang telah berhasil
memerdekakan rakyat Brazil dari buta huruf, keterbelakangan, dan kemiskinan.
Kita tidak bisa membayangkan, betapa besar rasa optimis seorang Freire sewaktu
berjuang dengan sekuat tenaga dan pikirannya untuk membebaskan rakyat Brazil
dari buta huruf, keterbelakangan, dan kemiskinan itu.
Meskipun
banyak problem yang dihadapi oleh pendidikan nasional, namun itu semua tidak
boleh menyurutkan semangat kita. Bagaimanapun juga, pendidikan nasional
merupakan investasi bagi masa depan bangsa. Sebab, melalui pendidikan nasional,
masa depan bangsa sedang dirancang sebaik mungkin dengan cara mempersiapkan
Sumber Daya Manusia yang tidak kalah kualitasnya dengan negara-negara lain.
Kita perlu mengingat kembali kata Cicero, “Pekerjaan apakah yang lebih
mulia, atau yang lebih bernilai bagi negara, daripada mengajar generasi yang
sedang tumbuh?”.
Dengan
demikian, sebagai seorang yang berada di dunia pendidikan kita tidak perlulah
merasa putus asa. Ini seperti yang dikatakan oleh Suyanto (2006: ), Sitem
pendidikan nasional sedang beranjak menuju perubahan. Akan tetapi, perubahan
itu jelas tidak bisa dalam sekali waktu yang langsung memperlihatkan hasil
secara maksimal. Sebab, mengelola sistem pendidikan nasional ibarat menanam modal
(investasi) untuk jangka panjang. Tetapi wujud keberhasilannya tidak seketika.
Jika investasi dalam bentuk bisnis jelas akan menghasilkan untung-rugi secara
riil, karena dapat diukur dengan besarnya nominal rupiah. Namun investasi
pendidikan adalah berbentuk kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang riil bagi
generasi bangsa. Karena tujuan nasional pendidikan kita adalah untuk membangun
mentalitas yang berkarakter.
Oleh:
Fitwi Luthfiyah